Selasa, 20 Desember 2011

Tugas Perilaku Konsumen (Softskill) Pertemuan ke- 3

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMBELIAN KONSUMEN

BAB 1
PENDAHULUAN

Didalam konsep dasar pengambilan keputusan, seseorang membutuhkan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan mereka. Pada Sistem informasi mempunyai peranan yang penting dalam menyediakan informasi untuk manajemen setiap tingkatan. Oleh karena itu untk dapat menyediakan informasi yang relevan dan berguna bagi manajemen, maka proses pengembang system informasi harus memahami terlebih dahulu kegiatan yang dilakukan oleh manajemen dan tipe keputusannya. Pada konsep dasar pengambilan keputusan oleh manajemen, pengambilan keputusan (Decision making) yaitu tindakan manajemen dalam pemilihan alternative untuk mencapai sasaran. Dan keputusan di dalam manajemen dibagi 3 tipe :

1. Keputusan terprogram/keputusan terstruktur
keputusan yg berulang2 dan rutin, sehingga dapt diprogram. Keputusan terstruktur terjadi dan dilakukan terutama pd manjemen tingkat bawah. Co:/ keputusan pemesanan barang, keputusan penagihan piutang,dll.

2. Keputusan setengah terprogram / setengah terstruktur
keputusan yg sebagian dpt diprogram, sebagian berulang-ulang dan rutin dan sebagian tdk terstruktur. Keputusan ini seringnya bersifat rumit dan membutuhkan perhitungan2 serta analisis yg terperinci. Co:/ Keputusan membeli sistem komputer yg lebih canggih, keputusan alokasi dana promosi.

3. Keputusan tidak terprogram/ tidak terstruktur
keputusan yg tidak terjadi berulang-ulang dan tidak selalu terjadi. Keputusan ini terjadi di manajemen tingkat atas. Informasi untuk pengambilan keputusan tdk terstruktur tdk mudah untuk didapatkan dan tdk mudah tersedia dan biasanya berasal dari lingkungan luar. Pengalaman manajer merupakan hal yg sangat penting didalam pengambilan keputusan tidak terstruktur.


BAB 2
PEMBAHASAN

3.1 MODEL PROSES PEMBELIAN

Secara umum ada tiga cara/model analisis pengambilan keputusan konsumen, yakni:
1. Economic Models, pengambilan keputusan diambil berdasarkan alas an ekonomis dan bersifat lebih rasional.
2. Psychological models, diambil lebih banyak akrena lasan psikoligs dan sejumlah faktos sosilogis seperti pengaruh keluarga dan budaya
3. Consumer behaviour models. Model yang umumnya diambil kebanyakan konsumen, Dilandasi oleh faktos ekonimis rasional dan psikologis.
Proses sederhana pengambilan keputusan melalui tiga tahap.
Input ( Pengaruh Eksternal)

Process ( Pengambilan Keputusan Konsumen)

Output ( Prilaku Setelah Keputusan )
INPUT :
1. Usaha Pemasaran Perusahaan
 Produk
 Promosi
 Harga
 Saluran Distribusi

1. Lingkungan Sosio Budaya

• Keluarga
• Sumber informasi
• Sumber nonkomersial lain
• Kelas social
• Subbudaya dan budaya

PROCESS terdiri dari tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu:

1. Faktor Psikologis
 Motivasi
 Persepsi’Pengetahuan
 Kepribadian
 Sikap
2. Pengenalan kebutuhan, penyelidikan sebelum pembelian, evaluasi terhadap kebutuhan.
3. Pengalaman. Dalam prakteknya, bisa berasal dari OUTPUT dan mempengaruhi factor psikologis dalam process.

OUTPUT:

1. Pembelian
 Percobaan
 Pembelian ulang
Evaluasi setelah pembelian. Ini akan menjadi kontribusi penting dalam unsure pengalaman di tahap process, yang pada akhirnya akan mempengaruhi factor psikologis dalam proses pengambilan keputusan berikutnya

3.2 TYPE PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Terdapat beberapa jenis keputusan dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan keputusan yang harus diambil oleh level manajemen di perusahaan jenis keputusan terdiri atas:
1. Keputusan Strategis, adalah keputusan yang dibuat oleh manajemen puncak dalam sebuh perusahaan.
2. Keputusan taktis, adalah keputusan yang dibuat oleh manajemen menengah
3. Keputusan operasional, adalah keputusan yang dibuat oleh tingkat manajemen yang paling bawah, misalnya operator mesin di lantai produksi.

Berdasarkan tersedianya pemecahan masalah, jenis keputusan yang biasanya muncul adalah:
 Keputusan Terprogram. Keputusan ini berkaitan dengan kebiasaan, aturan, dan prosedur. Dalam hal ini kondisi yang dihadapi semuanya dapat diketahui dengan pasti.

 Keputusan tidak terprogram. Keputusan tidak terprogram ini adalah keputusan yang tidak mempunyai suatu aturan yang baku, tergantung pada jenis masalahnya. Biasanya, masalah yang membutuhkan keputusan tidak terprogram ini terjadinya tidak dapat diprediksi.

 Keputusan tidak terstruktur.disebut tidak terstruktur karena tidak diketahui pemecahannya karena ketidakjelasan masalahnya.

3.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMECAHAN MASALAH

Konsumen menggunakan pemecahan masalah yang terbatas ketika mereka melakukan sedikit usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini sering dilakukan oleh konsumen ketika membeli suatu produk yang telah mereka gunakan sebelumnya

Faktor-faktor yang mempengaruhi jangkauan pemecahan masalah :
1. Alternatif-alternatif dibedakan dengan cara yang relevan, misalnya pembelian rumah, alternatif pemilihan adalah lingkungan rumah (bersih, tidak banjir, dekat kota atau mudah transportasi), bahan baku, harga (cicilan rendah dan lama).

2. Tersedia waktu yang memadai untuk pertimbangan yang mendalam untuk membeli produk.
3. Terdapat tingkat keterlibatan (relevansi pribadi) yang tinggi yang menyertai pembelian.

Terdapat 5 faktor internal yang relevan terhadap proses pembuatan keputusan pembelian:
1. Motivasi (motivation) merupakan suatu dorongan yang ada dalam diri manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Persepsi (perception) merupakan hasil pemaknaan seseorang terhadap stimulus atau kejadia yang diterimanya berdasarkan informasi dan pengalamannya terhadap rangsangan tersebut.
3. Pembentukan sikap (attitude formation) merupakan penilaian yang ada dalam diri seseorang yang mencerminkan sikap suka/tidak suka seseorang akan suatu hal.
4. Integrasi (integration) merupakan kesatuan antara sikap dan tindakan.Integrasi merupakan respon atas sikap yang diambil. Perasaan suka akan mendorong seseorang untuk membeli dan perasaan tidak suka akan membulatkan tekad seseorang untuk tidak membeli produk tersebut.

pembelajaran (learning) merupakan proses belajar yang dilakukan seseorang setelah membeli produk tersebut dengan melihat apakah produk tersebut memiliki kegunaan dan akan dijadikan sebagai alternatif dalam pembelian selanjutnya.

3.4 PEMBELIAN

Konsumen menuntut tidak terbatas terpenuhi kebutuhan tetapi juga yang menjadi keinginannya. Peningkatan tersebut,sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan konsumen mengetahui, memahami, dan mempunyai banyak pilihan. Terdapat tahapan-tahapan sebelum seorang consumer memutuskan untuk membeli atau menunda pembelian terhadap suatu barang. Rangkaian tahapan ini disebut sebagai decision making process. Sebelumnya, terdapat motivasi dan involvement yang melatarbelakangi decision making process. Motivasi dan involvement sendiri dipengaruhi oleh kondisi psikologis (misalnya cara pembelajaran), kondisi situasional (misalnya kondisi keluarga, kelompok acuan, budaya, kelas sosial) dan aktivitas kognitif (misalnya personality, self concept). Proses itu kemudian tidak berhenti sampai disitu, terdapat langkah selanjutnya dalam information search. Dalam information search, terdapat dua bagian, yakni internal dan eksternal. Internal berarti informasi suatu produk muncul dari dalam dirinya sendiri, misalnya pernah membeli barang tersebut sebelumnya. Sedangkan eksternal, berarti informasi didapatkan di luar diri, misalnya lewat tvc, obrolan dengan teman, atau bisa juga pengaruh keluarga. Hal ini berhubungan dengan the hierarchy of effect yang terbagi dua, yakni high involvement hierarchy yang membutuhkan informasi lebih jauh
dengan mencari informasi lebih lanjut (eksternal) dan low involvement of effect yang membutuhkan informasi yang lebih sedikit yakni informasi yang sudah ada di dalam diri saja (internal).

Keputusan membeli oleh konsumen dipengaruhi oleh banyak factor eksternal maupun internal
-faktor-faktor eksternal, seperti informasi pemasaran dan lingkungan sosial budaya, faktor-faktor –faktor-faktor internal , misalnya motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, sikap dan pengalaman. Pengambilan keputusan konsumen juga dipengaruhi oleh situasi dimana proses dan perilaku beli terjadi. Situasi komunikasi, situasi pembelian, situasi penggunaan dan situasi penyingkiran produk, semuanya menentukan keputusan beli. Lingkungan fisik, lingkungan sosial, waktu, tujuan pembelian, konsumsi dan suasana hati tidak dapat diabaikan sebagai unsur-unsur yang sangat penting dalam keputusan membeli. Situasi terakhir adalah situasi-situasi tertentu yang banyak dimanfaatkan pemasar untuk mempengaruhi perilaku konsumen.
Struktur Keputusan Membeli
Struktur keputusan membeli penting,karena sesudah menetukan kebutuhan dan mempunyai keinginan akan produk tertentu, konsumen diharapkan untuk memunculkan keputusan untuk membeli. Ada tujuh struktur keputusan membeli yang mempengaruhi konsumen
1. Keputusan tentang jenis produk
Konsumen dapat memutuskan untuk membelanjakan uangnya untuk membeli produk X atau tujuan lain selain melakukan pembelian. Para pemasar harus memusatkan perhatian pada konsumen yang diharapkan
memutuskan untuk untuk membeli produk X dari alternatif lain yang mereka pertimbangkan uangnya untuk membeli komputer atau keperluan lain (membeli kamera, pakaian, dan buku.

2. keputusan tentang jenis produk
Konsumen memutuskan untuk membeli produk X dengan bentuk tertentu (ukuran, mutu, corak,dan sebagainya). Perusahaan harus menggunakan riset pemasaran
untuk mengetahui kesukaan konsumen (untuk memaksimumkan daya tarik merk produk X, misalnya mahasiswa tersebut menentukan karakteristik dari komputer yang diinginkan yaitu laptop, Pentium 120, kemampuan memproses cepat, fasilitas lengkap (baterai, CD drive, mouse).

3. keputusan tentang merek
Konsumen memutuskan merk yang akan diambil. Perusahaan harus mengetahui bagaimana konsumen memilih sebuah merk. Misalnya berdasarkan informasi yang dihimpun, mahasiswa tersebut memilih untuk mendapatkan komputer merk acer.

4. keputusan tentang penjualan
Konsumen memutuskan dimana akan membeli (toko serba ada, elektronik, toko khusus dan lain-lain, perusahaan ( termasuk pedagang besar, pengecer) Harus mengetahui bagaimana konsumen memilih penjual tertentu. Misalnya mahasiswa tersebut mempunyai pilihan membeli di toko elektronik, toko khusus komputer atau agen tertentu. Disamping pertimbangan harga, ia mempertimbangkan pula layanan yang didapat baik pada waktu membeli layanan purna jual.

5. Keputusan tentang jumlah produk
Konsumen memutuskan jumlah produk yang akan dibeli. Perusahaan harus mempertimbangkan banyaknya produk tersedia untuk konsumen sesuai keinginan konsumen yang berbeda-beda.

6. keputusan tentang waktu pembelian
Konsumen memutuskan kapan harus membeli (kapan uang/kesempatan tersedia). Perusahaan harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam penentuan waktu pembelian, yang juga mempengaruhi perusahaan dalam mengatur waktu produksi, pemesanan, periklanan dan sebagainya.

7. Keputusan tentang cara pembayaran
Konsumen memutuskan mode pembelanjaan yang disukainya, perusahaan harus mengetahui hal ini yang akan mempengaruhi dalam penawaran pembayaran (discount untuk tunai, kemudahan kredit, bunga rendah, dan lain-lain).

3.5 DIAGNOSA PERILAKU KONSUMEN

Pemahaman akan perilaku konsumen dapat diaplikasikan dalam beberapa hal,yaitu
1. untuk merancang sebuah strategi pemasaran yang baik, misalnya menentukan kapan saat yang tepat perusahaan memberikan diskon untuk menarik pembeli.

2. perilaku konsumen dapat membantu pembuat keputusan membuat kebijakan publik.Misalnya dengan mengetahui bahwa konsumen akan banyak menggunakan transportasi saat lebaran, pembuat keputusan dapat merencanakan harga tiket transportasi di hari raya tersebut.
3. pemasaran sosial (social marketing), yaitu penyebaran ide di antara konsumen. Dengan memahami sikap konsumen dalam menghadapi sesuatu, seseorang dapat menyebarkan ide dengan lebih cepat dan efektif.

Terdapat tiga pendekatan utama dalam meneliti perilaku konsumen.
1. Pendekatan pertama adalah pendekatan interpretif. Pendekatan ini menggali secara mendalam perilaku konsumsi dan hal yang mendasarinya. Studi dilakukan dengan melalui wawancara panjang dan focus group discussion untuk memahami apa makna sebuah produk dan jasa bagi konsumen dan apa yang dirasakan dan dialami konsumen ketika membeli dan menggunakannya.

2. Pendekatan kedua adalah pendekatan tradisional yang didasari pada teori dan metode dari ilmu psikologi kognitif, sosial, dan behaviorial serta dari ilmu sosiologi.Pendekatan ini bertujuan mengembangkan teori dan metode untuk menjelaskan perliku dan pembuatan keputusan konsumen. Studi dilakukan melalui eksperimen dan survey untuk menguji coba teori dan mencari pemahaman tentang bagaimana seorang konsumen memproses informasi, membuat keputusan, serta pengaruh lingkungan sosial terhadap perilaku konsumen.

3. Pendekatan ketiga disebut sebagai sains marketing yang didasari pada teori dan metode dari ilmu ekonomi dan statiska. Pendekatan ini dilakukan dengan mengembangkan dan menguji coba model matematika untuk memprediksi pengaruh strategi marketing terhadap pilihan dan perilaku konsumen.Ketiga pendekatan sama-sama memiliki nilai dan memberikan pemahaman atas perilaku konsumen serta strategi marketing dari sudut pandang dan tingkatan analisis yang berbeda. Sebuah perusahaan dapat saja menggunakan salah satu atau seluruh pendekatan, tergantung permasalahan yang dihadapi perusahaan tersebut.



BAB 3
PENUTUP

Pada kenyataannya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen tidak selamanya merupakan proses yang rasional. Hal ini seringkali disebabkan oleh perilaku konsumen yang telah dibahas sebelumnya. Sebuah mobil yang bisa berjalan di jalan yang terjal tidak pernah digunakan oleh pemiliknya, namun mereka cukup senang ketika mereka mengetahui bahwa mobil mereka dapat dikendarai pada jalan terjal.Pemecahan masalah konsumen tidak selamanya berakhir dengan sebuah pembelian. Seorang konsumen dapat menundanya atau bahkan tidak melakukan pembelian sama sekali. Konsumen menunda pilihan mereka ketika pilihan yang tersedia tidak memuaskan. Setelah melakukan pembelian, konsumen sering kali berfikir dua kali dan membayangkan bahwa mereka telah melakukan pilihan yang tepat. Hasil dari ketegangan ini disebut kejanggalan – perasaan ketidak pastian tentang betul tidaknya keputusan yang telah dibuat. Hal ini dapat membuat konsumen mencari informasi tambahan untuk memberikan keyakinan pada mereka bahwa produk yang mereka beli tersebut telah benar dan mengurangi ketegangan yang ada.

Dalam mengambil keputusan mengenai pembelian suatu barang, kita harus memperhatikan mana kebutuhan yang penting dan jumlah uang yang kita punyai, juga menetapkan dan menggunakan berbagai kriteria evaluasi termasuk harga, Merek dan lain-lain pada saat membuat keputusan pembelian. Selain itu, menilai kinerja setiap alternatif sebagai dasar evaluasi serta mengetahui dan memahami bagaimana situasi konsumen dalam menentukan pilihan dengan melihat berbagai aspek yang ada.


Nama : Andika Heri Noviyanto
NPM : 12209482
Kelas: 3EA12

Rabu, 23 November 2011

Tugas METODE RISET

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari informasi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada Januari 2003 sampai dengan Desember 2006. Metode pengumpulan data ini berupa dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai media baik cetak maupun elektronik.

3.2 Variabel dan Indikator

Variabel yang digunakan oleh peneliti adalah:
1. Dana Pihak Ketiga
2. Modal Disetor
3. Penempatan pada Bank Indonesia
4. Penempatan pada Bank Lain
5. Pembiayaan yang diberikan

Tabel
Nilai thitung Pada Regresi Variabel
Variabel (thitung) (Ttabel)
Dana Pihak Ketiga (-1,377623) (-1,684)
Modal disetor (-2,481126) (-1,684)
Penempatan pada BI (2,673092) (1,684)
Penempatan pada bank lain (-0,184466) (-1,684)
Pembiayaan yang diberikan (1,989336) (1,684)



1. Dana Pihak Ketiga, variabel ini secara statistik tidak signifikan terhadap laba. Hal ini dapat dilihat dari nilai t tabel dengan t hitung dimana t tabel kurang dari t hitung (-1,377623 < -1,684). Artinya, Dana Pihak Ketiga tidak berpengaruh terhadap laba perbankan di Indonesia.

2. Modal Disetor, variabel ini secara statistik signifikan terhadap laba. Hal ini dapat dilihat dari nilai t tabel dengan t hitung. Dimana nilai t tabel labih besar dari t hitung (-2,481126 > -1,684). Variabel ini berpengaruh negatif terhadap laba perbankan di Indonesia sebesar 1,9961. Artinya apabila modal disetor bertambah 1%, maka laba perbankan akan turun sebesar 1,9961% dan sebaliknya apabila modal disetor berkurang 1% maka laba perbankan akan bertambah 1,9961%.

3. Penempatan pada Bank Indonesia secara statistic signifikan terhadap laba. Hal ini dapat dilihat dari nilai t tabel dengan t hitung. Dimana nilai t tabel lebih besar dari t hitung (2,673092 > 1,684). Variabel ini berpengaruh positif terhadap laba perbankan di Indonesia sebesar 0,7186. Artinya apabila penempatan pada Bank Indonesia meningkat 1% maka laba perbankan juga akan meningkat sebesar 0,7186%, begitu juga sebaliknya apabila penempatan pada Bank Indonesia turun 1% maka laba pada perbankan juga mengalami penurunan sebesar 0,7186%.

4. Penempatan pada bank lain secara statistik tidak signifikan terhadap laba perbankan. Hal ini dapat dilihat dari t tabel dengan t hitung, dimana nilai t tabel kurang dari t hitung (-0,184466 < -1,684). Artinya penempatan pada bank lain tidak berpengaruh terhadap laba perbankan di Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena dana yang ditempatkan pada bank lain tidak produktif atau disebabkan karena sedikitnya jumlah dana yang ditempatkan pada bank lain sehingga bagi hasil yang didapat tidak berpengaruh terhadap laba.

5. Pembiayaan yang diberikan secara statistik signifikan terhadap laba di perbankan. Hal ini dapat dilihat dari nilai t tabel dengan t hitung, dimana t tabel lebih besar dari t hitung (1,989336 > 1,684). Variabel ini berpengaruh positif terhadap laba yaitu sebesar 2,8271. Artinya apabila pembiayaan yang diberikan bertambah 1% maka laba perbankan juga bertambah 2,8271% dan juga sebaliknya apabila pembiayaan yang diberikan turun 1% maka laba juga akan turun sebesar 2,8271%. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya pembiayaan yang diberikan oleh bank maka bagi hasil yang diterima itu juga akan meningkat sehingga penerimaan bank juga akan meningkat dan akhirnya laba bank juga akan meningkat.



Nama: Andika Heri Noviyanto
NPM: 12209482
Kelas: 3EA12

Senin, 31 Oktober 2011

BAB II Landasan Teori

Nama : Andika Heri Noviyanto
NPM : 12209482
Kelas : 3EA12
Matakul : Metode Riset

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Teori Dasar
Dalam Booklet Perbankan Indonesia edisi Maret 2006 dijelaskan pengertian tentang perbankan adalah sebagai berikut :

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

Bank Konvesional adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dana, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dan persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Persentase tertentu ini biasanya ditetapkan pertahun. (Y. Sri Susilo, 2000; 110).

Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan prinsip-prinsip syariah. (Heri Sudarsono, 2003; 18)

Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain, Bank Islam (Bank Syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lau lintas permbayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. (Muhammad, 2004; 1)
Bank Syariah adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil. (Y. Sri Susilo, 2000; 110)

Antonio dan Perwaatmadja membedakan bank syariah menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah islam.

Prinsip utama yang digunakan dalam kegiatan perbankan syariah adalah:

1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.

2. Melakukan kegiatan usaha perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah.

3. Memberikan zakat.

Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input), atau jumlah yang dihasilkan dari satu input yang dipergunakan. Suatu perusahaan dapat dikatakan efisiensi apabila mempergunakan jumlah unit yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah unit input yang dipergunakan perusahaan lain untuk menghasilkan output yang sama, atau menggunakan unit input yang sama, dapat menghasilkan jumlah output yang lebih besar. (Permono dan Darmawan, 2000; 2)


2.2. Tinjauan Riset Terdahulu
Berdasarkan hasil lokakarya yang diadakan MUI pada tahun 1990 direkomendasikan tentang perlu dibentuknya lembaga keuangan berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam menindak lanjuti rekomendasi tersebut pada tahun 1992 didirikanlah bank Muammalat Indonesia. Bank Muammalat ini merupakan bank pertama di Indonesia yang menerapkan sistem bagi hasil.

Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.


2.3. Pengembangan Hipotesis
Dalam penelitian ini, Efisiensi perbankan dengan pendekatan profit pada dasarnya adalah laba yang dipengaruhi oleh fungsi variabel input dan variabel output. Karena metode SFA merupakan fungsi log dari variabel input dan variabel output. Dalam penelitian ini output (Y) yang digunakan adalah Penempatan pada Bank Iindonesia (PBI), Penempatan pada bank lain (PBL), Pembiayaan yang dierikan (PD). Sedangkan input (X) yang digunakan adalah Dana Pihak Ketiga (DPK), Modal disetor (MDS). Dengan asumsi-asumsi sebagai berikut :

a) Dana pihak ketiga berpengaruh terhadap laba.
b) Modal disetor berpengaruh terhadap laba.
c) Penempatan pada Bank Indonesia berpengaruh terhadap laba.
d) Penempatan pada bank lain berpengaruh terhadap laba.
e) Pembiayaan yang diberikan berpengaruh terhadap laba.

Berdasarkan asumsi-asumsi diatas peneliti melakukan rumusan hipotesa sebagai berikut :

H0 = Variabel input dan variabel output tidak berpengaruh terhadap laba (π)
H1 = Variabel input dan variabel output berpengaruh terhadap laba (π)

Untuk mendapatkan hasil yang signifikan (mendekati kebenaran) maka penelitian ini menggunakan derajat keyakinan 95 % (α = 5 %).

Senin, 24 Oktober 2011

ANALISA EFISIENSI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu 1997-1998 merupakan pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut banyak lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan mengalami kesulitan keuangan. Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya kemampuan sektor usaha produksi. Sebagai akibatnya, kualitas aset perbankan turun secara drastis sementara sistem perbankan diwajibkan untuk terus memberikan imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga pasar. Rendahnya kemampuan daya saing usaha sektor produksi telah menyebabkan berkurangnya peran sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator kegiatan investasi.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk menganalisa :
1. Apakah Dana Pihak Ketiga, Modal disetor, Penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada bank lain, dan pembiayaan yang diberikan berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah di Indonesia selama ini ?

2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap efisiensi tersebut ?


1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah tersebut adalah :

1) Penelitian ini hanya dilakukan pada Bank Syariah di Indonesia (tidak termasuk BPRS).

2) Penelitian hanya dilakukan mulai bulan Januari 2003 sampai dengan Desmber 2006.


1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengukur tingkat efisiensi pada Perbankan Syariah di Indonesia.


Nama : Andika Heri Noviyanto
NPM : 3EA12
Kelas : 12209482

Kamis, 13 Oktober 2011

SEGMENTASI PASAR DAN ANALISIS DEMOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN
Segmentasi pasar adalah sebuah metode bagaimana memandang pasar secara kreatif. Kita perlu secara kreatif mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang yang muncul dipasar (Hermawan Kertajaya). Segmentasi pasar sangatlah penting didalam bisnis dan pemasaran, walaupun kita tidak boleh mengiris-iris pasar terlalu kecil, segmentasi pasar tetaplah suatu hal yang harus dipelajari dalam membangun usaha. Pengertian segmentasi pasar sebagai suatu strategi perusahaan tidaklah semata dilakukan dengan cara membedakan produk atau bahkan menciptakan produk baru (product diversification), tetapi didasarkan atas perbedaan minat dan kebutuhan konsumen. Peranan segmentasi dalam marketing:
1. Memungkinkan kita untuk lebih fokus masuk ke pasar sesuai keunggulan kompetitif perusahaan kita
2. Mendapatkan input mengenai peta kompetisi dan posisi kita dipasar.
3. Merupakan basis bagi kita untuk mempersiapkan strategi marketing kita selanjutnya.
4. Faktor kunci mengalahkan pesaing dengan memandang pasar dari sudut unik dan cara yang berbeda.
Definisi segmentasi pasar
a. Swastha dan Handoko (1997)
Mengartikan segmentasi pasar sebagai kegiatan membagi-bagi yang bersifat heterogen kedalam satuan-satuan pasar yang bersifat homogen.
b. Swastha dan Handoko (1987)
Yang merumuskan segmentasi pasar adalah suatu tindakan membagi pasar menjadi segmen-segmen pasar tertentu yang dijadikan sasaran penjualan yang akan dicapai dengan marketing mix.
c. Kotler, Bowen dan Makens (2002, p.254)
Pasar terdiri dari pembeli dan pembeli berbeda-beda dalam berbagai hal yang bisa membeli dalam keinginan, sumber daya, lokasi, sikap pembeli dan kebiasaan membeli. Karena masing-masing memiliki kebutuhan dan keinginan yang unik, masing-masing pembeli merupakan pasar potensial sendiri.
Sedangkan definisi yang diberikan oleh Pride dan Ferrel (1995)
Mengatakan bahwa segmentasi pasar adalah suatu proses membagi pasar kedalam segmen-segmen pelanggan potensial dengan kesamaan karakteristik yang menunjukkan adanya kesamaan perilaku pembeli.
Dilain pihak Pride dan Ferrel (1995) mendefinisikan segmentasi pasar sebagai suatu proses pembagian pasar keseluruhan menjadi kelompok-kelompok pasar yang terdiri dari orang-orang yang secara relatif memiliki kebutuhan produk yang sama.
BAB II ISI
A. Segmentasi Pasar
Segmentasi pasar adalah pembagian suatu pasar yang heterogen kedalam satuan-satuan pembeli yang homogen, dimana kepada setiap satuan pembeli yang homogen tersebut dijadikan sasaran pasar yang dicapai dengan marketing mix tersendiri. Dengan demikian yang semula pasarnya satu dan luas, kemudian dibagi-bagi atau disegmentasi oleh pemasar menjadi beberapa bagian pasar yang sifatnya homogen. Homogenitas pasar tersebut dicari dan ditentukan sendiri oleh pihak pemasar. Mengingat luasnya pasar, maka kegiatan segmentasi pasar harus dilakukan dengan maksud dan tujuan sebagai berikut:
- Pasar lebih mudah dibedakan
Setiap produk yang dihasilkan adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, agar produk tersebut dapat diterima tentunya haruslah sesuai dengan selera konsumen. Sedangkan dilain pihak dengan keadaan pasar yang heterogen dan selera konsumen yang selalu berkembang tentunya sulit untuk dapat diikuti oleh perusahaan secara terus menerus.
- Pelayanan kepada pembeli menjadi lebih baik
Dalam memenuhi kebutuhannya konsumen selalu menginginkan empat hal penting yaitu kualitas barang yang bagus, harga yang terjangkau serta pelayanan yang baik dan memuaskan serta ketepatan waktu. Dari keempat hal tersebut yang sangat dominan adalah perihal pelayanan, banyak konsumen lari ketempat lain karena masalah pelayanan.
- Strategi pemasaran menjadi lebih mengarah
Mengingat luas dan beragamnya pasar konsumen, maka akan sulit untuk melayani semua konsumen yang sangat heterogen tersebut. Maka dengan melayani konsumen yang sifatnya homogen maka strategi pemasaran yang direncanakan dapat lebih mengarah dalam menyusun marketing mix yang meliputi perencanaan produk, harga, distribusi dan promosinya sehingga menjadi lebih tajam.

- Mendesain produk
Mendisain produk-produk yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasar karena hanya dengan memahami segmen-segmen yang responsif terhadap suatu stimuli maka pemasar dapat mendisain produk yang sesuai dengan kebutuhan segmen ini.
- Menganalisis pasar
Segmentasi pasar membantu pihak manajemen mendeteksi siapa saja yang akan menggerogoti pasar produknya. Para pesaing itu memiliki kemampuan untuk memberikan alternatif pilihan produk bagi konsumen dan tidak sekedar menghasilkan produk yang sama.
- Menemukan ceruk peluang (nieche)
Setelah menganalisis pasar, perusahaan yang menguasai pasar dengan baik akan sampai pada ide untuk menemukan peluang, peluang ini tidak selalu sesuatu yang besar.
- Menguasai posisi yang superior dan kompetitif
Perusahaan yang menguasai segmen dengan baik umumnya adalah mereka yang paham betul konsumennya. Mereka mempelajari pergeseran-pergeseran yang terjadi didalam segmennya.
- Menentukan strategi komunikasi yang efektif dan efisien
Komunikasi dengan konsumen akan lebih efektif jika perusahaan tahu persis siapa segmennya termasuk warna favoritnya, jenis musik kesukaan, kegiatan sehari-hari dan pendapatnya pribadi tentang lingkungan sekitarnya.
B. Dasar-dasar segmentasi
Variabel-variabel yang berbeda dipergunakan untuk membentuk segmen pasar konsumen. Variabel-variabel tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Beberapa peneliti mencoba membentuk segmen dengan melihat pada karakteristik/sifat konsumen, pada umumnya mereka menggunakan segmen demografis, geografis dan psikografis.
Untuk mengadakan segmentasi pasar dapat ditempuh dengan beberapa cara yang berbeda. Metode tersebut juga dapat berbeda antara suatu produk ke produk lainnya. Salah satu cara dalam mengadakan segmentasi pasar adalah dengan membagi segmen pasar berdasarkan Sembilan kategori berikut:
1. Geografi
Segmentasi geografi akan membagi pasar kedalam beberapa bagian geografi yang berbeda-beda seperti Negara, negara bagian, wilayah, kota dan desa. Perusahaan akan beroperasi pada satu atau beberapa area geografi yang dipandang potensial dan menguntungkan.
2. Demografi
Dalam segmentasi demografi, pasar dibagi menjadi grup-grup dengan dasar pembagian seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendekatan, tingkat pendidikan dan agama. Setidaknya ada lima alas an mengapa pendekatan demografi inihampir selalu disertakan, antara lain adalah informasi demografi adalah informasi yang mudah dijangkau dan relatif lebih murah untuk mengidentifikasikan target market, informasi demografi memberikan insight tentang trend yang sedang terjadi, meski tidak dapat untuk meramalkan perilaku konsumen.
3. Psikografi
Cirri-ciri psikologis berkenaan dengan inner atau kualitas intrinsic dari consumer individual, strategi segmentasi konsumen kadang-kadang didasarkan pada variabel psikologis yang spesifik. Konsumen dapat dibagi menurut demografi tetapi seringkali ini tidaklah cukup.
4. Sosiocultural
Variabel sosiologis (kelompok) dan antropologis (budaya) merupakan variabel sosiokultural, menyediakan dasar lebih lanjut untuk segmentasi pasar. Untuk segmen pasar yang sukses dibagi lagi dalam segmen sesuai dengan tahap pada:
a. Daur hidup keluarga
b. Kelas sosial
c. Budaya dan sub budaya
d. Lintas budaya atau segmentasi pemasaran global
5. Segmen hubungan menggunakan cara ekstrim
Sebuah cara ekstrim yang popular dan bentuk efektif segmentasi untuk kategori penggunaan merek, seperti:
a. Tingkat penggunaan: perbedaan segmentasi antara pengguna berat, pengguna sedang, pengguna ringan dan bukan pengguna untuk sebuah produk, jasa atau merek khusus.
b. Tingkat kesadaran: kesadaran konsumen pada produk, tingkat ketertarikan pada produk, kesiapan membeli produk atau apakah konsumen butuh informasi tentang produk menyangkut semua aspek kesadaran.
c. Loyalitas merek: kadang-kadang digunakan sebagai dasar untuk segmentasi, pemasar kadang mencoba untuk mengidentifikasikan karakteristik konsumen yang loyal merek tentu mereka bisa langsung menjadi pendukung promosi mereka ke orang dengan karakteristik yang sama dalam populasi yang lebih besar.
6. Segmen hybrid
Pemasar secara umum membentuk segmen pasar dengan kombinasi beberapa variabel segmen berdasarkan sebuah segmen tunggal. Segmen goedemografis adalah sangat berguna bagi ketika seseorang pengiklan atau pemasar menemukan prospek terbaik (kepribadian, tujuan dan ketertarikan).
7. Segmen situasi penggunaan
Pemasar mengenal bahwa kesempatan atau situasi kadang-kadang menetukan apakah konsumen akan membeli atau mengkonsumsi. Untuk alasan ini mereka kadang-kadang fokus pada situasi penggunaan sebagai sebuah variabel segmentasi.
8. Segmen benefit
Bentuk segmentasi yang kuat adalah dengan mengklasifikasikan pembeli sesuai dengan manfaat berbeda yang mereka cari dari produk. Eksekutif pemasaran dan periklanan secara konstan mencoba mengidentifikasikan sebuah keuntungan paling penting dari produk atau jasa yang akan menjadi sangat berarti bagi consumer. Ada lima keuntungan strategic brand yaitu:
1. Fungsional (contoh kualitas)
2. Nilai uang
3. Manfaat sosial
4. Manfaat emosi positif
5. Manfaat emosi negatif
Segmentasi benefit bisa juga digunakan untuk bermacam-macam posisi merek dalam kategori produk yang sama.
9. Segmentasi tingkah laku
Segemntasi tingkah laku mengelompokkan pembeli berdasarkan pada pengetahuan, sikap, penggunaan atau reaksi mereka terhadap suatu produk. Banyak pemasar yakin bahwa variabel tingkah laku merupakan awal paling baik untk membentuk segmen pasar.

Macam-macam atau jenis kepuasan konsumen
Kepuasan konsumen terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kepuasan Fungsional, merupakan kepuasan yang diperoleh dari fungsi atau pemakaian suatu produk.
2. Kepuasan Psikologikal, merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut yang bersifat tidak berwujud.
C. Rencana Perubahan
1. Analisis konsumen dan Kebijakan sosial
Analisis konsumen berguna untuk melihat bagaimana konsumen mengambil keputusan dan peran pemasaran didalamnya. Pengambilan keputusan konsumen yang dilakukan seseorang mengalami berbagai pentahapan sebagai berikut:
- Analisis kebutuhan, konsumen merasa bahwa dia membutuhkan sesuatu untuk memenuhi keinginannya.
- Pencarian informasi, setelah kebutuhan itu dirasakan, konsumen kemudian mencari produk ataupun jasa yang bisa memenuhi kebutuhannya.
- Evaluasi alternatif: konsumen kemudian mengadakan evaluasi terhadap berbagai alternatif yang tersedia mulai dari keuntungan dan manfaat yang dia peroleh dibandingkan biaya yang harus ia keluarkan.
- Keputusan pembelian: konsumen memutuskan untuk membeli merek tertentu dengan harga tertentu, warna tertentu.
- Sikap paska pembelian: skap paska pembelian menyangkut sikap konsumen setelah membeli produk ataupun mengkonsumsi suatu jasa. Apakah dia akan puas dan terpenuhi kebutuhannya dengan produk atau jasa tersebut atau tidak.

2. Perubahan struktur pasar konsumen
Struktur pasar konsumen – pasar persaingan sempurna, monopolistic, oligopoly dan monopoli:
a. Pasar persaingan sempurna
jenis pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Contoh produknya adalah seperti beras, gandum, batubara, kentang dan lain-lain. Sifat-sifat pasar persaingan sempurna:
- Jumlah penjual dan pembeli banyak
- Barang yang dijual sejenis, serupa dan mirip satu sama lain
- Penjual bersifat pengambilan harga (price taker)
- Harga ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran (demand and supply)
- Posisi tawar konsumen kuat
- Sulit memperoleh keuntungan diatas rata-rata
- Sensitif terhadap perubahan harga
- Mudah untuk masuk dan keluar dari pasar
b. Pasar monopolistik
Struktur pasar monopolistik terjadi manakal jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun dimana konsumen produk tersebut berbeda-beda antara produsen yang satu dengan yang lain. Contoh produknya adalah seperti makanan ringan (snack), nasi goring, pulpen, buku dan sebagainya. Sifat-sifat pasar monopolistik:
- Untuk unggul diperlukan keunggulan bersaing yang berbeda
- Mirip dengan pasar persaingan sempurna
- Brand yang menjadi cirri khas produk berbeda-beda
- Produsen atau penjual hanya memiliki sedikit kekuatan merubah harga
- Relatif mudah keluar masuk pasar
c. Pasar oligopoli
pasar oligopoli adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Contoh industry yang termasuk oligopoli adalah industri semen di Indonesia, industri mobil di Amerika Serikat dan sebagainya. Sifat-sifat pasar oligopoli:
- Harga produk yang dijual relatif sama
- Pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses
- Sulit masuk kepasar karena butuh sumber daya yang besar
- Perubahan harga akan diikuti perusahaan lain
d. Pasar monopoli
Pasar monopoli akan terjadi jika didalam pasar konsumen hanya terdiri dari satu produsen atau penjual. Contohnya seperti Microsoft windows, perusahaan listrik Negara (PLN), perusahaan kereta api (perumka) dan lain sebagainya. Sifat-sifat pasar monopoli:
- Hanya terdapat satu penjual atau produsen
- Harga dan jumlah kuantitas produk yang ditawarkan dikuasai oleh perusahaan monopoli
D. Kriteria Membidik Segmen Pasar Yang Efektif
Pada dasarnya tidak semua segmentasi itu efektif, syarat yang diperlukan agar segmentasi efektif adalah:
1. Harus bisa diukur
Besar atau luasnya segmen, daya beli dan profit yang bisa diukur
2. Harus substansial
Segmen harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani
3. Mudah dicapai atau ditemui (Accesable)
Segmen harus mudah dicapai dan dilayani. Harus jelas alamatnya, bisa dihubungi, diketahui kebutuhan dan keinginannya.
4. Harus bisa dibedakan (Differentiable)
Secara konseptual segmen harus bisa dibedakan dan memberikan respon yang berbeda yang nikah atau tidak nikah memberikan respon yang sama terhadap produk peralatan rumah tangga, tidak perlu dibuat segmen untuk wanita menikah dan tidak menikah.
5. Harus bisa dilakukan tindakan atau dilaksanakan (Actionable)
Program efektif bisa disusun untuk menarik dan melayani segmen.
E. Implementasi Strategi Segmentasi
Perusahaan yang menggunakan segmentasi pasar bisa mengikuti sebuah strategi segmen pasar atau sebuah strategi pemasaran terdifferensiasi, setiap segmen pasar memerlukan strategi pemasarannya sendiri. Pada waktu lainnya mungkin harga pesan iklan atau outlet eceran yang peru dibedakan.
1. Pemasaran terkonsentrasi VS Terdifferensiasi
Sebuah organisasi telah mengidentifikasikan segmen pasar yang sangat menjanjikan dan harus memutuskan apakah sasarannya satu segmen atau beberapa segmen. Segmen pasar menjanjikan yang ditargetkan mendapat sebuah bauran pemasaran yang dirancang secara khusus.
2. Countersegmentation
Kadang-kadang perusahaan menemukan bahwa mereka harus mempertimbangkan kembali segmen pasar mereka sekarang. Mereka dapat menemukan bahwa beberapa segmen telah terkonsentrasi namun mereka tidak menjamin seorang individu telah merancang program pemasaran.
BAB III PENUTUP
Manfaat dan Kelemahan Segmentasi
Banyaknya perusahaan yang melakukan segmentasi pasar atas dasar pengelompokkan variabel tertentu. Dengan menggolongkan atau mensegmentasikan pasar seperti itu, dapat dikatakan bahwa secara umum perusahaan mempunyai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penjualan dan yang lebih penting lagi agar operasi perusahaan dalam jangka panjang dapat berkelanjutan dan kompetitif (Porter, 1991).
Manfaat yang lain dengan dilakukannya segmentasi pasar, antara lain:
1. Perusahaan akan dapat mendeteksi secara dini dan tepat mengenai kecenderungan-kecenderungan dalam pasar yang senantiasa berubah.
2. Dapat mendesign produk yang benar-benar sesuai dengan permintaan pasar.
3. Dapat menentukan kampanye dan periklanan yang paling efektif.
4. Dapat mengarahkan dana promosi yang tersedia melalui media yang tepat bagi segmen yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
5. Dapat digunakan untuk mengukur usaha promosi sesuai dengan masa atau periode-periode dimana reaksi pasar cukup besar.
6. Gitosudarmo (2000) menambahkan manfaat segmentasi pasar ini, sebagai berikut:
1. Dapat membedakan antara segmen yang satu dengan segmen lainnya.
2. Dapat digunakan untuk mengetahui sifat masing-masing segmen.
3. Dapat digunakan untuk mencari segmen mana yang potensinya paling besar.
4. Dapat digunakan untuk memilih segmen mana yang akan dijadikan pasar sasaran.


NAMA : Andika Heri Noviyanto
NPM : 12209482
KELAS: 3EA12

Minggu, 09 Oktober 2011

Tugas METODE RISET

Analisis Jurnal 1
1) Judul, Pengarang, Tahun:
Elastisitas Produk Perbankan Terhadap Perubahan Tingkat Suku Bunga di Indonesia, Aris Budi Setyawan, 2007.

2) Tema:
Perbankan di Indonesia.

3) Latar Belakang Masalah:
Dalam perekonomian Indonesia, variabel suku bunga memiliki peran penting. Sebagai contoh, bagi sektor riil, tingginya suku bunga akan mengurangi minat mendapatkan dana dari perbankan dan meningkatnya biaya modal, karena bunga kredit yang harus dibayar akan terus meningkat. Apabila ini terjadi tentunya akan mengganggu aktivitas produksi sektor riil yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara nasional.
- Fenomena:
Tidak semua skema kredit dan dana pihak ketiga member respon perubahan yang sama terhadap perubahan suku bunga yang terjadi, sehingga dampak yang harus dihadapi setiap bank juga berbeda. Dengan kata lain, seberapa besar dan bagaimana elastisitas perubahan nilai kredit dan dana pihak ketiga terhadap perubahan harga (suku bunga) nya? Sehingga setiap bank dapat mengambil kebijakan pendanaan yang tepat, agar secara keseluruhan, bank dapat menjalankan manajemen dana yang menguntungkan, bagi bank dan bagi masyarakat.
- Jurnal/penelitian yang dijadikan dasar:
Seperti telah diketahui, menurut teori klasik tentang suku bunga, baik tabungan maupun investasi merupakan fungsi dari suku bunga (Nopirin, 1992). Oleh karena itu, perubahan suku bunga akan diikuti dengan perubahan nilai tabungan dan juga investasi, meskipun dengan kepekaan perubahan yang berbeda.
- Motivasi Penelitian:
Untuk mengetahui perubahan tingkat suku bunga yang terjadi pada perbankan di Indonesia

4) Masalah:
Apakah pengaruh dari perubahan tingkat suku bunga di Indonesia?

5) Tujuan Penelitian:
Untuk mengetahui apakah perubahan tingkat suku bunga sangat berpengaruh penting bagi perbankan

6)METODE PENELITIAN
> Data Sekunder


7) Hipotesis:
Jadi hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum baik Giro, Tabungan dan Deposito tidak terlalu peka atau inelastic terhadap perubahan suku bunga (SBI)



8) Hasil dan Analisis:
Pada dasarnya pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia menyadari bahwa suku bunga yang ditetapkannya akan berdampak pada nilai produk dan aktivitas perbankan dan juga sektor riil. Oleh karena itu BI selalu menetapkan tingkat bunga yang paling kondusif bagi iklim usaha, baik bagi sektor perbankan maupun bagi sektor riil, agar kedua sektor tersebut dapat beroperasi dengan optimal dan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi perekonomian nasional.

9) Rekomendasi dan Implikasi:
Dengan berbagai kebijakan moneter BI pasca krisis, tingkat suku bunga di Indonesia berangsur turun dan stabil pada kisaran 8% sampai dengan 10%. Hal ini tentunya memberikan angin segar dan harapan bagi sektor perbankan dan terutama sektor riil untuk kembali bangkit dan mengembangkan aktivitas produksinya.

ANALISIS JURNAL 2
1) Judul, Pengarang, Tahun:
Praktik Perataan Laba Sektor Industri Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya dan Faktor yang Mempengaruhinya, Masodah, 2007.

2) Tema:
Perbankan di Indonesia.

3) Latar Belakang Masalah:
Perataan laba merupakan proses meratakan laba yang dilaporkan, disekitar tingkat laba yang dianggap normal bagi sebuah perusahaan. Praktik perataan laba bertujuan mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan, karena laba yang relatif stabil lebih disukai oleh investor.
- Fenomena:
Perataan laba dapatdipandang sebagai upaya yang secara sengaja dimaksudkan untuk menormalkan income dalam rangka mencapai kecenderungan atau tingkat yang diinginkan.
- Jurnal/penelitian yang dijadikan dasar:
Sebuah informasi yang disampaikan dalam pelaporan keuangan harus memiliki kebermanfaatan keputusan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan laporan keuangan. Selain itu pentingnya informasi laba secara tegas telah disebutkan oleh Statement of Financial Concepts (SFAC) No 1, bahwa selain untuk menilai kinerja manajemen, juga membantu mengestimasi kemampuan laba yang representatif, serta untuk menaksir resiko dalam investasi atau kredit.
- Motivasi Penelitian:
Untuk mengetahui sejauh mana praktik perataan laba disektor industri perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

4) Masalah:
1. Apakah praktik perataan laba dilakukan oleh industri sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya?
2. Faktor apakah yang mempengaruhi praktik perataan laba oleh industri sektor perbankan?

5) Tujuan Penelitian:
Untuk mengetahui sejauh mana praktik perataan laba disektor industri perbankan dan apakah benar terjadi praktik perataan laba didalamnya.

6) METODE PENELITIAN
Terdapat dua tahapan yang ditempuh yaitu tahap pengambilan sampel sampai dengan pemeriksaan ada tidaknya praktik perataan laba tersebut. Tahap kedua pengujian hipotesa, yaitu menginvestigasi faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba.

7) Hipotesis:
Sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya secara empiris telah melakukan praktik perataan laba, hal ini terbukti melalui indeks eckel yang menunjukkan nilai berkisar antara 0 sampai dengan 1. Sedangkan variabel yang signifikan mempengaruhi praktik perataan laba untuk sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya adalah variabel ratio debt to equity.

8) Hasil dan Analisis:
Jumlah perusahaan yang memenuhi criteria sampel adalah 27 perusahaan. Melalui pemeriksaan laporan laba dengan menggunakan indeks eckels terbukti 19 perusahaan pernah melakukan praktik perataan laba, dengan jumlah sampel sebanyak 114 sampel. Rata-rata indeks perataan laba disektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya adalah 0.55, dengan nilai minimum 0.06 dan maksimum 0.94

9) Rekomendasi dan Implikasi:
Salah satu informasi yang disampaikan perusahaan kepada investor diantaranya adalah laporan keuangan, sehingga hal ini mengundang manajemen melakukan hal-hal yang mengubah laporan laba rugi untuk kepentingan pribadi, seperti mempertahankan jabatan. Kebutuhan yang dirasakan manajemen untuk menetralisir ketidakpastian lingkungan dan mengurangi fluktuasi yang besar dalam kinerja operasi perusahaan karena silih bergantinya kejadian baik dan buruk.

ANALISIS JURNAL 3
1) Judul, Pengarang, Tahun:
Analisa Perbankan Syariah di Indonesia, Suswadi, 2007

2) Tema:
Perbankan di Indonesia.

3) Latar Belakang Masalah:
Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya kemampuan sektor usaha produksi. Rendahnya kemampuan daya saing usaha sektor produksi telah menyebabkan berkurangnya peran sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsinya sebagai mediator kegiatan investasi.
- Fenomena:
1. Terciptanya prinsip syariah dalam operasional perbankan.
2. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien.
3. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas.
-Jurnal/penelitian yang dijadikan dasar:
Efisiensi merupakan salah satu parameter kinerja yang secara teoritis merupakan salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja sebuah organisasi. Efisiensi dalam dunia perbankan adalah salah satu parameter kinerja yang cukup popular, banyak digunakan karena merupakan jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran-ukuran kinerja perbankan.
- Motivasi Penelitian:
Untuk mengetahui sejauh mana kinerja perbankan syariah di Indonesia.

4) Masalah:
1. Apakah dana pihak ketiga, modal disetor, penempatan pada bank Indonesia, penempatan pada bank lain, dan pembiayaan yang diberikan berpengaruh terhadap efisiensi perbankan syariah di Indonesia selama ini?
2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap efisiensi tersebut?

5) Tujuan Penelitian:
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efisiensi perbankan syariah di Indonesia.

6) METODE PENELITIAN
- Data: Data yang dibuat oleh si pengarang adalah data sekunder, karena data tersebut diperoleh dari informasi yang dipublikasikan
- Dalam penelitian ini digunakan perhitungan efisiensi bank syariah dari sisi profit dengan menggunakan metode pendekatan alternative profit efficiency
sedangkan untuk perhitungannya menggunakan metode pendekatan stochastic frontier approach (SFA) yang mengihitung deviasi dari fungsi profit yang diestimasi terlebih dahulu dengan profit frontiernya.


7) Hipotesis:
Efisiensi perbankan dengan pendekatan profit pada dasarnya adalah laba yang dipengaruhi oleh fungsi variabel input dan variabel output, karena metode SFA merupakan fungsi log dari variabel input dan variabel output. Dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a) Dana pihak ketiga berpengaruh terhadap laba
b) Modal disetor berpengaruh terhadap laba
c) Penempatan pada BI berpengaruh terhadap laba
d) Penempatan pada bank lain berpengaruh terhadap laba
e) Pembiayaan yang diberikan berpengaruh terhadap laba

8) Hasil dan Analisis:
Dengan metode pendekatan stochastic frontier approach (SFA) untuk menghitung tingkat efisiensi pada perbankan syariah di Indonesia, profit dari bank syariah dimodelkan untuk terdeviasi dari profit efficient frontier-nya akibat adanya random noise dan inefisiensi. Efisiensi bank syariah didasarkan pada kemampuan pada bank syariah menghasilkan profit (laba) dri input dan output yang digunakan, sehingga istilah laba atau efisiensi disini memiliki makna yang sama.

9) Rekomendasi dan Implikasi:
Dana pihak ketiga dan modal disetor hendaknya dapat dikendalikan, karena dana pihak ketiga dan modal disetor dalam perbankan syariah selama ini memberikan dampak negatif terhadap laba yang diperoleh. Untuk mendapatkan laba yang maksimal, perbankan syariah di Indonesia seharusnya lebih meningkatkan pembiayaan yang diberikan karena pembiayaan ini berpengaruh besar terhadap laba yang diperoleh perbankan syariah selama ini.


NAMA : Andika Heri Noviyanto
NPM : 12209482
KELAS : 3EA12

Jumat, 23 September 2011

Tugas Analisis Jurnal "Metode Riset"

1) Judul, Nama Pengarang, Tahun:
Pengaruh Kualitas Teknik, Kualitas Funsional, dan Aktivitas Pemasaran Tradisional Terhadap Citra Perusahaan Telekomunikasi di Kantor Daerah, Kartawan, 2003.

2) Tema:
Kualitas Pelayanan Terhadap Citra Perusahaan Komunikasi.

3) Latar Belakang Masalah:
Citra yang kurang baik akan menyebabkan konsumen tidak loyal dan pindah ke kompetitor lain. Oleh sebab itu perusahaan tersebut harus berusaha membenahi diri agar tetap memenangkan persaingan dengan memberikan pelayanan yang terbaik dan mendapatkan citra baik perusahaan dimata konsumen.

- FENOMENA:
Dalam upaya meningkatkan citra perusahaan, perlu dilakukan peningkatan terutama dalam dimensi kecepatan dan ketepatan, komunikasi petugas dan kemudahan untuk dihubungi.

Didalam pemasaran suatu organisasi, faktor citra merupakan sesuatu yang sangat penting, karena citra akan mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi pembelian, bahkan suatu barang atau jasa yang kurang baik, kelemahannya akan tertutupi jika organisasi atau perusahaan yang menghasilkannya mempunyai citra yang positif.

- PENELITIAN SEBELUMNYA:
Kualitas sebagai suatu bentuk sikap, berhubungan namun tidak sama dengan kepuasan. Namun kualitas pelayanan dan kepuasan dibentuk dari hal yang berbeda. Lalu disebutkan bahwa pengertian yang paling umum dari perbedaan kualitas pelayanan dan kepuasan adalah bahwa kualitas pelayanan merupakan satu bentuk sikap, penilaian dilakukan dalam waktu lama, sementara kepuasan merupakan ukuran dari transaksi yang spesifik.

- MOTIVASI PENELITIAN:
Meningkatkan kualitas pelayanan, perusahaan harus mempertimbangkan selain untuk menjadikan citra perusahaannya menjadi lebih baik ia juga harus bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dari sebelumnya.

4) Masalah:
- Citra perusahaan telekomunikasi kantor daerah dihadapan para pelanggan belum sepenuhnya diketahui.
- Pengaruh kualitas teknikal, kualitas fungsional dan aktivitas pemasaran tradisional terhadap citra perusahaan telekomunikasi kantor daerah belum secara jelas diketahui.

5) Tujuan Penelitian:
- Mengukur dan menganalisis persepsi konsumen tentang citra perusahaan telekomunikasi disetiap daerah.
- Mengukur pengaruh dari kualitas teknikal, kualitas fungsional dan aktivitas pemasaran tradisional terhadap citra perusahaan telekomunikasi disetiap daerah.



Nama : Andika Heri Noviyanto
NPM : 12209482
Kelas : 3EA12
Mata kuliah: Metode Riset

Rabu, 16 Maret 2011

Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistem Pendidikan Demokrasi

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatun crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status perta¬ma, kedua, ketiga, dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewar¬ganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat keran¬cuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, seba¬gai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasi¬la (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar menge¬nai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengama¬lan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasi¬la dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke¬warganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisa¬sikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkem¬bang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konsep¬tual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggan¬tikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripati¬kan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokra¬si konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum (MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945.
Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000 disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK. Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu (Somantri:1998), pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK (IKIP/ STKIP/ FKIP) Jurusan atau Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada saat ini. Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi¬kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru pendidikan kewarganegaraan. Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender¬ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegar¬aan sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapat¬kan perhatian. Dalam status keempat, yakni sebagai crash program pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4 mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4 atau BP7 Pusat dan Propinsi sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.
Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabu¬tan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal 30 April 1999 BP7 secara resmi dilikuidasi.
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara yang mampu berpikir, bersi¬kap, dan bertindak sesuai dengan cita-cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional, sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai aki¬batnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dirasakan: rentan terhadap pengaruh perubahan dalam kehidupan politik, tidakajek dalam sistem kurikulum dan pembelajarannya; pendidikan gurunya yang cenderung terlalu memihak pada tuntutan formal-kurikuler di sekolah dan kurang memperhatikan pengem-bangan pendidikan kewarganegaraan sebagai bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, epistemologi pendidikan kewarganegaraan tidak berkembang dengan pesat; pembelajaran sosial nilai Pancasila yang cenderung berubah peran dan fungsi menjadi proses indoktrinasi ideologi negara, tidak kokohnya dan tidak koher¬ennya landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan demokrasi.

Ada beberapa konsep yang dikaji, yakni jatidiri, pendidikan kewarganegaraan, wahana sistemik, dan pendidikan demokrasi. Istilah jatidiri diadaptasi dari characteristic dalam bahasa Inggris, yang memiliki sinonim paling dekat den¬gan individuality, specialty, attribute, feature, charac¬ter, yang dapat diartikan secara bebas seba¬gai ciri khas atau atribut. Dalam artikel ini jatidiri dimaksudkan sebagai ciri khas atau atribut konseptual dan empirik dari pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi. Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship Education. Cogan mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen".
Dalam tulisan ini istilah pendidikan kewarganegaraan pada da¬sarnya digunakan dalam pengertian yang luas seperti "citizenship education" atau "education for citizenship" yang mencakup pendidikan kewarganegaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendi¬dikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warganegara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi.Kata sistem diserap dari Bahasa Inggris system, yang secara harfiah artinya "susunan". Sedangkan menurut Hornby, Gatenby, dan Wakefield system diartikan sebagai group of things or parts working together in a regular relation atau kelompok benda-benda atau hal-hal atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam suatu hubungan yang teratur. Pengertian yang lebih lengkap tentang sistem diberikan oleh Rahmat sebagai berikut:

1). Gabungan hal-hal yang disatukan kedalam sebuah kesatuan yang konsisten dengan kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagian-bagiannya.
2). Gabungan hal-hal (obyek-obyek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksioma-aksioma,dll) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren (subor¬dinasi, atau inferensi, atau generalisasi,dll) menurut beberapa prinsip (atau rencana, atau rancangan, atau metode) rasional atau yang dapat dipahami" Dalam pengertian seperti dikutip itulah penulis mengartikan sistem. Selanjutnya, yang dimaksud dengan konteks keilmuan adalah keterpaduan dari unsur-unsur kerangka konseptual pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas. Konsep keterpaduan itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah integrated, seperti dalam konsep integrated social studies, yang kemudian diterjemahkan menjadi IPS Terpadu. Dengan merujuk kepada pengertian masing-masing istilah seperti telah dibahas di muka dan konsep keterpaduan pengetahuan atau integrated knowledge system menurut Hartoonian, maka konsep kerangka konseptual konteks keilmuan yang digunakan diartikan sebagai tatanan pengetahuan yang terstruktur secara paradigmatik, yang obyek telaahnya disikapi sebagai suatu kesatuan garis berpikir dan metode kerjanya bersifat sistemik (kesatuan yang bersifat multidimensional) dan kemanfaatannya menyangkut banyak hal yang satu sama lain saling berkaitan.Pendidikan demokrasi yang kini dengan tegas diterima sebagai esensi pendidikan kewarganegaraan, dalam Kurikulum 1994 merupakan bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dibingkai menjadi satu dengan nilai-nilai masing-masing sila sebagai intinya dalam kedudukan yang setara dan interaktif. Dengan paradigma yang ada itu maka secara substantif di dalam pendidikan kewarganegaraan terkandung makna pendidikan Pancasila, dalam arti berlandaskan dan berorientasi pada cita-cita dan nilai yang secara koheren dan sistemik terkandung dalam Pancasila. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi, sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education for Civil Society. Berkaitan dengan hal itu Sudarsono menegaskan bahwa “the ideals and values of democracy and their implementations in daily activities at micro as well as macro levels can be regarded as the heart of civil society”. Oleh karena itu, lebih lanjut ditekankan bahwa “...democratic living should be fostered in order that we should be able to establish a good Indonnesian civil society”, dan untuk itulah, ditegaskan lebih jauh lagi bahwa “... the existing civic education both for schools and for society should be reassessed and redesigned”. Dari situ dengan tegas tampak adanya kecenderungan yang kuat untuk menempatkan pendidikan demokrasi sebagai intinya dari pendidikan kewarganegaraan. Dengan menggunakan kerangka berpikir itu, maka konsep pendidikan demokrasi diartikan sebagai tatanan konseptual yang menggambarkan keseluruhan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan cita-cita, nilai, prinsip, dan pola prilaku demokrasi dalam diri individu warganegara, dalam tatanan iklim yang demokratis, sehingga pada giliranya kelak secara bersama-sama dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani Indonesia yang demokratis. Paradigma ini dijiwai oleh ethos baru pendidikan demokrasi “eduction about democracy, through democracy, and for democracy”
Ada tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship education. Istilah civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri untuk menunjukkan the science of citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antarwarganegara dan hubungan antara warganegara dengan negara. Saat ini istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan USA. Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk menunjukkan program pendidikan karakter, etika dan kebajikan atau pengembangan fungsi dan peran politik dari warganegara dan pengembangan kualitas pribadi.
Sedangkan Allen dan NCS menggunakan istilah citizenship education dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan program pendidikan atau all positive influences yang datang dari proses pendidikan formal dan informal. Kini istilah civic education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara baru di Eropa timur yang mendapat pembinaan profesional dari Center for Civic Education dan Universitas mitra kerjanya di USA, untuk menunjukkan suatu program pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih dipakai untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur utama disamping program pendidikaan kewarganegaraan di luar pendidikan formal seperti site of citizenship atau situs kewarganegaraan, seperti juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh dan NCSS. Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core atau inti dari social studies. Di Indonesia istilah citizenship education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Yang konsisten menggunakan istilah citizenship education atau education for citizenship adalah UK. Sedangkan negara lain yang diketahui menggunakannya secara adaptif adalah Netherlands. Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama namun berbeda dalam cara penulisannya.
Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai huruf besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan (semuanya dengan huruf kecil). Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada kerangka konseptual sistemik program pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis. Konsep pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn) yang dapat ditulis dengan semuanya huruf besar atau huruf kecil

Visi Secara Paradigmatik

Citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis mendidik warganegara ang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-formal, seperti yang secara konsisten diterapkan di UK. dangkan civic education secara umum memiliki visi formal-pedagogis untuk mendidik arganegara yang demokratis dalam konteks pendidikan formal, seperti secara adaptif diterapkan di USA. i Indonesia, yakni PPKn memiliki visi formal-pedagogis sebagai mata pelajaran sosial di sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana pendidikan nilai Pancasila.Bertolak dari kajian teoritik dan diskusi reflektif, dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan” dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berfungsi dan berperan sebagai :
(1) Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal,
(2) Program aksi sosial-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan
(3) Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.

Visi ini mengandung dua dimensi, yakni :
(1) Dimensi substantif berupa muatan pembelajaran(content and learning experiences) dan obyek telaah serta obyek pengembangan.
(2) Dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).
Khusus dalam visinya sebagai bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan secara epistemologis merupakan synthetic discipline atau integrated knowledge system, atau cross-disciplinary study (Hahn dan Torney-Purta:1999), atau kajian multidimensional (Derricott dan Cogan:1998). Penulis menempatkan pendidikan kewarganegaraan atau sistem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian lintas-bidang keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial, serta humaniora, dan secara pedagogis diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Secara filosofik tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaran ini dilandasi oleh tilikan reconstructed philosophy of education yang secara adaptif mengakomodasikan tilikan filsafat pendidikan perennialism, essentialism, progressivism, dan recontructionism. Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem nilai. Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn secara paradigmatik, pendidikan kewarganegaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah “pendidikan kewarganegaraan” sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan-falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin yang matured.

Missi

Secara konseptual “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas-bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling-keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan (Winataputra:1978, Barr dkk:1978, Welton dan Mallan:1988, NCSS:1985, 1994, Somantri:1993). Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education, khususnya dalam upaya pengembangan intelligent social actor. Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.
Missi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Missi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam koteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warganegara secara cerdas dan bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada tumbuh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Perwujudan ketiga missi tersebut akan memfasilitasi pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science menjadi disiplin baru dan dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan demokrasi dan kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional.

Jadi, secara konseptual-paradigmatik citizenship education saat ini mengembangkan strategi dasar learning democracy, in democracy, and for democracy. Kemudian strategi dasar ini oleh QCA(1999) dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education about citizenship education through citizenship education for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik Minimal (education about citizenship) ke titik Maksimal (education for citizenship). Pendidikan kewargnegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional dikategorikan kedalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan civic participation. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar sekolah/di perguruan tinggi di Indonesia, kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar proses education about citizenship terwadahi secara sistimatik dan berbobot.
Dan pertimbangan tersebut juga dimaksudkan bahwa secara perlahan tetapi pasti, melalui pemantapan mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan penciptaan kehidupan sosila-kultural sekolah/ kampus yang demokratis, taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat dijalanai koridor sosial-kultural menuju proses education for citizenship (konsep sekolah/kampus sebagai laboratory for democracy. Dengan cara itu, pada saatnya nanti, para lulusan lembaga pendidikan formal mampu menampilkan dirinya sebagai demokrat muda yang taat hukum, religius dan berkeadaban dalam berbagai konteks kehidupan yang dijalaninya. Namun demikian khusus dalam konteks pendidikan usia dini, yakni di taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas rendah (1-3), karena perkembangan psikososial siswa yang berada pada tarap kognitif concrete operation menuju formal-operation dan moralita pre-conventional morality yang didominasi oleh punishment and obedience orientation meningkat ke good boy and nice girl orientation menuju instrumental relativist orientation, yang memerlukan keterpaduan dan kebermaknaan belajar dalam suasana yang otentik atau hands-on experience, pendidikan kewarganegaraan dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain yang relevan dengan pendekatan cross-curriculum, khususnya dalam pendidikan IPS, Bahasa dan kesenian, seperti mata pelajaran Personal, Social, and Health Education (PSHE) di sekolah dasar di UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di negara lainnya.Sebagai suatu bidang kajian pendidikan disiplin ilmu, sebagaimana juga citizenship education, pendidikan kewarganegaraan diyakini secara konseptual memiliki sifat multidimensional dalam aspek ontologis-obyek telaahnya, aspek epistemologis-metode penelitian dan pengembangannya, dan aspek aksiologis-kemanfaatannya bagi dunia pendidikan. Sifat-sifat itulah yang mengikat ketiga dimensi pendidikan kewarganegaraan dalam suatu paradigma yang utuh. Oleh karena itulah pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi dan diterima sebagai suatu wahana sistemik atau integrated knowledge system atau synthetic discipline dalam tataran filosofik dan konseptual pendidikan disiplin ilmu. Jiwa dari paradigma ini diharapkan lebih menitikberatkan pada kearifan intuitif yang beorientasi eco-action dan bersifat responsif, konsolidatif, dan kooperatif daripada kekuatan rasionalitas yang beorientasi ego-action dan bersifat agresif, ekspansif, dan kompetitif.